LATAR
BELAKANG
Sejak juni 2005, bangsa Indonesia memasuki babak baru
berkaitan dengan penyelenggaraan tata pemerintahan di tingkat lokal. Kepala
daerah, baik bupati/walikota maupun gubernur yang sebelumnya dipilih secara
tidak langsung oleh DPRD, sejak Juni 2005 dipilih secara langsung oleh rakyat
melalui proses pemilihan kepala daerah yang sering disingkat dengan Pilkada
Langsung.
Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara
langsung diatur dalam UU no.32/2004 tentang Pemerintah Daerah tentang Tata cara pemilihan, Pengesahan,
Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
Pilihan Terhadap sistem pemilihan kepala daerah secara
langsung merupakan koreksi atas pilkada terdahulu yang menggunakan sistem perwakilan
oleh DPRD. Digunakannya sestem pemilihan langsung menunjukkan perkembangan
penataan format demokrasi daerah yang berkembang dalam kerangka liberalisasi
politik. Tentu saja, dipilihnya sistem pilkada langsung mendatangkan optisme
dan pesimisme tersendiri. Pilkada langsung dinilai sebagai perwujudan
pengembalian hak-hak dasar masyarakat di daerah dengan memberikan kewenangan
yang utuh dalam tangka rekrutmen pimpinan daerah sehingga mendinamisir
kehidupan demokrasi di tingkat lokal. Keberhasilan pilkada langsung untuk
melahirkan kepemimpinan daerah yang demokratis, sesuai kehendak dan tuntutan
rakyat sangat tergantung pada kritisisme dan rasionalitas rakyat sendiri.
Pilkada langsung tentu menimbulkan banyak problem,
implikasi politik, dan dampak sosial ekonomi baik yang menguntungkan maupun
tidak. Banyak wacana-wacana yang muncul mengkritik tentang pilkada langsung ,
tetapi ada juga wacana yang memberi penjelasan tentang dampak pilkada pada
proses penciptaan pemerintahan yang responsif dan implikasi-implikasi sosial
politik.
IDENTIFIKASI
MASALAH
1. Bagaimana sistem dan proses pilkada langsung di Indonesia?
2. Apa saja hambatan dalam melaksanakan pilkada langsung
di daerah?
BAB II
PEMBAHASAN
SISTEM
DAN PROSES PILKADA LANGSUNG DI INDONESIA
` Setelah
diundangkannya UU no 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah dan diderivasi
berbagai penjelasan teknisnya oleh PP no 6 tahun 2005 tentang pemilihan,
Pengesahaan, Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah, maka dimulailah babak baru dalam rentang sejarah dinamika lokalisme
polirik di Indonesia. Pemilihan Kepala Daerah secara langsung merupakan sebuah
ikhtiar demokratisasi yang makin menunjukan orientasi yang jelas,
yakni penempatan posisi dan kepentingan rakyat berada diatas berbaai kekuatan
politik elit yang selama ini dinilai terlampau mendominasi dan bahkan terkesan
menghegemoni.
Keputusan untuk memilih sistem pilkada langsung bukan
datang dengan tiba-tiba. Banyak faktor yang mendukung percepatan digunakannya
sistem langsung tersebut, dengan semangat utamanya memperbaiki kehidupan
demokrasi.
Sistem Pilkada dapat dikatakan sistem yang ideal karena
berbagai alasan yaitu :
demokrasi langsung menunjukan perwujudan kedaulatan di tangan rakyat, akan dihasilkan kepala daerah yang mendapat dukungan langsung dari rakyat, permainan politik uang bisa diperkecil karena tidak mungkin menyuap pemilih dalam jumlah jutaan orang. Pilkada yang sesungguhnya adalah bagian dari sistem politik di daerah. Sistem pilkada juga bagian dari sistem politik di daerah.
demokrasi langsung menunjukan perwujudan kedaulatan di tangan rakyat, akan dihasilkan kepala daerah yang mendapat dukungan langsung dari rakyat, permainan politik uang bisa diperkecil karena tidak mungkin menyuap pemilih dalam jumlah jutaan orang. Pilkada yang sesungguhnya adalah bagian dari sistem politik di daerah. Sistem pilkada juga bagian dari sistem politik di daerah.
Keterlibatan
secara sukarela dalam pilkada merupakan indikator positif atau negatifnya
rakyat daerah sebagai warga yang mempunyai hak politik sebagai voter. Tentu
saja rakyat sebagai waraga negara agar dapat berperan aktif dalam partisipasi
politik perlu terpaan pendidikan politik dari berbagai agennya. Tanpa terpaan
itu maka sukar untuk mendapatkan kadar partispasi politik yang baik dalam
kerangka demokrasi.
Bentuk
partispasi politik rakyat daerah dalam pilkada langsung ini dapat dilihat dari
berbagai bentuknya, mulai dari sebagai orang atau kelompok yang apolitis,
pengamat, maupun partisipan. Seperti pada dua pemilu yang
lalu maka akan ada prosentasi rakyat yang apolitis dalam arti mereka yang
termasuk tak acuh dalam kegitand an proses politik. Di Indonesia,prosentase
rakyat yang apolitis masih di bawah 30 % rata-rata. Sementara bentuk pengamat
merupakan porsi yang paling banyak, yaitu mereka yang melakukan pengaruh dalam
proses politik sebatas sebagai anggota organsisasi, hadir dalam kampanye, dan
voter. Sementara dalam bentuk partisipan, diantaranya rakyat terlibat sebagai
aktivis partai, dan kelompok kepentingan. Sebagai aktivis, pertisipasi politik
rakyat sudah mengarah pada derajat menduduki jabatan-jabatan organisasi/
politik.
Aktor utama sistem pilkada adalah rakyat,
partai politik, dan calon kepala daerah. Ketiga aktor inilah yang terlibat
langsung dalam kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan dalam rangkaian
tahapan-tahapan kegiatan pilkada langsung , yaitu :
1.
Pendaftaran pemilih
2.
Pendaftaran calon
3.
Penetapan calon
4.
Kampanye
5.
Pemungutan dan penghitungan suara, dan
6.
Penetapan calon terpilih.
Karena pilkada
merupakan implementasi dari demokrasi, maka nilai-nilai demokrasi menjadi
parameter keberhasilan pelaksanaan proses kegiatan. Nilai-nilai tersebut
diwujudkan melalui azas-azas pilkada langsung yang terdiri dari : langsung,
umum, bebas, rahasia, jujur dan adil.
Partai-partai politik mempunyai kepentingan besar untuk
menjadikan calonnya terpilih sehingga tidak mungkin menyerahkan penyelenggaraan
pada mereka. Catatan pilkada selama ini menunjukan , penyelenggaraan pilkada
oleh partai-partai politik menimbulkan bias demokrasi, seperti persekongkolan,
nepotisme, dan politik uang. Oleh karena itu, kegiatan-kegiatan tersebut harus
diselenggarakan oleh lembaga yang diatur secara ketat untuk menjaga dan
menjamin dilaksanakannya nilai-nilai keterbukaan, keadilan dan kejujuran.
HAMBATAN
DALAM MELAKSANAKAN PILKADA LANGSUNG DI INDONESIA
Berdasarkan
pelaksanaan pilkada di beberapa daerah , terdapat hambatan-hambatan yang
berkaitan dengan persiapan daerah dalam menyelenggarkan pilkada.
Pertama,
berkaitan
dengan beratnya syarat pengajuan calon. Dalam UU no 32 tahun 2004 disebutkan
bahwa hanya partai politik atau gabungan partai politik yang memperoleh suara
15% kursi DPRD atau 15% suara pileg yang berhak mengajukan calon.
Persyaratan inilah yang terlalu memberatkan. Karena dengan ketentuan seperti
ini, daerah-daerah dimana tidak ada satu pun atau gabungan partai politik yang
bisa mencalonkan diri sebagai pasangan calon, maka akan ada hanya satu calon.
Kedua,
sistem pilkada dua putaran yang dianut ternyata dijadikan sarana bagi beberapa
daerah untuk mengajukan anggaran pilkada secara besar-besaran.
Ketiga,
berkaitan dengan prosedur perhitungan suara-suara dab penetapan calon yang
terpilih. Untuk mengatur prosedur dan cara perhitungan secara jelas bagaimana
kalau ada calon yang memiliki suara sama disemua tingkatan seharusnya ada SK
KUPD agar mencari jalan keluar dari masalah ini.
Keempat,
maraknya praktik-praktik money politics. Pemilihan kepala daerah langsung
banyak diwarnai kegiatan money politics. Jauh sebelum pelaksanaan pilkada, para
pasangan calon banyak mengeluarkan miliaran rupiah, bahkan puluhgan miliar,
untuk hanya jadi calon.
Kelima,
besarnya daerah pemilihan, yaity seluruh wilayah provinsi untuk pemilihan
gubernur, dan seluruh wilayah kabupaten untuk pemilihan bupati, menyebabkan
proses kampanya sulit dikendalikan.
Keenam,
caraq pemilihan kepala daerah dengan memilih orang menempatkan figur sebagai
pertimbangan utama dalam menentukan pilihan kepala daerah. Untuk memilih partai
saja, kebanyakan pemulih masih mempertimbangkan figur masing-masing tokohnya.
Ketujuh,
sebagai konsekuensi memilih orang, bentuk black propogandan akan banyak
mewarnai kampanye kepala daerah ketimbang model kampanya yang berupaya
membangun image positif masing-masing pasangan calon.
Kedelapan,
ketidaksiapan pemilih untuk menerima kekalahan calon pendukungnya akibat sistem
pemilihan dua tahap yang memungkinkan calon terbesar kedua keluar sebagai
pemenang. Termasuk, tidak siapnya para pendukung menerima kekalahan jagoannya.
Kesembilan,
sebagai konsekuensi memilih orang, akan banyak split voting pada pemilihan
presiden. Maksudnya banyak pendukung partai memberikan dukungan secara
menyilang.
Selain
hambatan-hambatan tersebut pilkada langsung juga menimbulkan pro-kontra.
Kelompok pro berpandangan bahwa pilkada langsung mengeliminasi
distorsi-distorsi demokrai dalam praktik pilkada sistem perwakilan. Pilkada
langsung dinilai sebagai jalan masuk bagi demokratisasi politik didaerah kerena
dapat mengeliminasi atau mengikis politik uang, memperkecil peluang intervensi
pengurus partai politik, dan memberikan kesempatan rakyat memilih pimpinan
daerah secara objektif.
Dilain
pihak, kelompok kontra berpendirian bahwa pilkada langsung merupakan ide dan
keputusan prematur untuk tidak relevan peningkatan kualitas demokrasi karena
kalitas demokrasi di daerah lebih ditentukan oleh faktor lain terutama kualitas
anggota DPRD dan kualitas pemilih. Bagi kelompok kontra, pemilih masih bersifat
konservatif dan patriarkhi sehingga pilkada langsung bisa menimbulkan bias
demokrasi.
BAB
III
PENUTUP
KESIMPULAN DAN SARAN
Berbagai perubahan yang terjadi dari
masa ke masa atas penyelenggaraan pilkada di Indonesia menunjukan bahwa
demokrasi di Indonesia masih dan akan terus dalam proses. Oleh karenanya
pemberian makna atas demokrasi itu sendiri merupakan hal terpenting dalam
reformasi dan perbaikan hidup bernegara. Terlebih cita-cita akan tegaknya
demokrasi di negeri ini telah ada sejak negeri ini diprolakmasikan tahun 1945.
Arti
bahwa pilkada langsung sebagian dari proses demokratisasi adalah bahwa ia
hanyalah merupakan sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang sesungguhnya, yaitu
tegaknya prinsip dan nilai demokrasi. Pilkada langsung bukanlah satu tujuan,
melainkan sebagai alat atau sarana sehingga sevara sederhana dapat dikatakan
bahwa dengan terselenggarakannya pilkada langsung tidak serta merta demokrasi
akan terjadi, bila pilkada langsung itu dilaksanakn seenaknya dan mengabaikan
nilai-nilai demokrasi universal dalam melaksanakanya.
Banyaknya
kritik dari pilkada langsung bukan untuk menyurutkan langkah atas pelaksanaan
pilkada langsung, melainkan berbagai kritik yang muncul justru menjadi
inspirasi dan motivator bagi pilkada langsung agar pelaksanaanya dapat berjalan
lebih baik lagi. Berbagai kritik yang ada juga dapat menjaga kita agar tidak
sombong.
Harus menjadi kesadaran semua pihak bahwa dalam
pelaksanaan pilkada langsung dibutuhkan banyak pembenahan. Antara lain
pembenahan manajemen kelembagaan, yang menyangkut kelembagaan pelaksanan
pilkada langsung seperti KUPD, DPRD, pemda hingga pemantau. Kemudian penguatan
partai politik yang harus cerdas mungkin menempatkan calon yang cerdas baik
secara intelektual maupun moral. Serta yang paling penting adalah melakukan
pencerahan kepada masyarakat dalam pelaksanaan pilkada langsung agar dalam
memilih tidak lagi berdasarkan pada alasan yang pendek, melainkan memilih atas
kesadaraan penuh akan kemajuan daerahnya dan bangsa Indonesia dalam jangka
waktu yang panjang.
DAFTAR PUSTAKA
Nadir,
Ahmad,2005 , Pilkada Langsung dan Masa
Depan Demokrasi .Averroes Press,
Malang.
Budiardjo, Miriam, 1994, Demokrasi
di Indonesia: Demokrasi Parlementer dan Demokrasi Pancasila, PT
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Prihatmoko,Joko,2005,
Pemilihan Kepala Daerah Langsung:
Filosofi, Sistem dan Problema Penerapan di Indonesia, Penerbit Pustaka
Pelajar, Yogyakarta.