Minggu, 25 November 2012

pilkada langsung di indonesia


LATAR BELAKANG
            Sejak juni 2005, bangsa Indonesia memasuki babak baru berkaitan dengan penyelenggaraan tata pemerintahan di tingkat lokal. Kepala daerah, baik bupati/walikota maupun gubernur yang sebelumnya dipilih secara tidak langsung oleh DPRD, sejak Juni 2005 dipilih secara langsung oleh rakyat melalui proses pemilihan kepala daerah yang sering disingkat dengan Pilkada Langsung.
            Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara langsung diatur dalam UU no.32/2004 tentang Pemerintah Daerah  tentang Tata cara pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
            Pilihan Terhadap sistem pemilihan kepala daerah secara langsung merupakan koreksi atas pilkada terdahulu yang menggunakan sistem perwakilan oleh DPRD. Digunakannya sestem pemilihan langsung menunjukkan perkembangan penataan format demokrasi daerah yang berkembang dalam kerangka liberalisasi politik. Tentu saja, dipilihnya sistem pilkada langsung mendatangkan optisme dan pesimisme tersendiri. Pilkada langsung dinilai sebagai perwujudan pengembalian hak-hak dasar masyarakat di daerah dengan memberikan kewenangan yang utuh dalam tangka rekrutmen pimpinan daerah sehingga mendinamisir kehidupan demokrasi di tingkat lokal. Keberhasilan pilkada langsung untuk melahirkan kepemimpinan daerah yang demokratis, sesuai kehendak dan tuntutan rakyat sangat tergantung pada kritisisme dan rasionalitas rakyat sendiri.
            Pilkada langsung tentu menimbulkan banyak problem, implikasi politik, dan dampak sosial ekonomi baik yang menguntungkan maupun tidak. Banyak wacana-wacana yang muncul mengkritik tentang pilkada langsung , tetapi ada juga wacana yang memberi penjelasan tentang dampak pilkada pada proses penciptaan pemerintahan yang responsif dan implikasi-implikasi sosial politik.


IDENTIFIKASI MASALAH

            1. Bagaimana sistem dan proses pilkada langsung di Indonesia?
            2. Apa saja hambatan dalam melaksanakan pilkada langsung di daerah?


 

BAB II
PEMBAHASAN

SISTEM DAN PROSES PILKADA LANGSUNG DI INDONESIA
`           Setelah diundangkannya UU no 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah dan diderivasi berbagai penjelasan teknisnya oleh PP no 6 tahun 2005 tentang pemilihan, Pengesahaan, Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, maka dimulailah babak baru dalam rentang sejarah dinamika lokalisme polirik di Indonesia. Pemilihan Kepala Daerah secara langsung merupakan sebuah ikhtiar demokratisasi yang makin            menunjukan orientasi yang jelas, yakni penempatan posisi dan kepentingan rakyat berada diatas berbaai kekuatan politik elit yang selama ini dinilai terlampau mendominasi dan bahkan terkesan menghegemoni.
            Keputusan untuk memilih sistem pilkada langsung bukan datang dengan tiba-tiba. Banyak faktor yang mendukung percepatan digunakannya sistem langsung tersebut, dengan semangat utamanya memperbaiki kehidupan demokrasi.             
            Sistem Pilkada dapat dikatakan sistem yang ideal karena berbagai alasan yaitu :
demokrasi langsung menunjukan perwujudan kedaulatan di tangan rakyat, akan dihasilkan kepala daerah yang mendapat dukungan langsung dari rakyat, permainan politik uang bisa diperkecil karena tidak mungkin menyuap pemilih dalam jumlah jutaan orang. Pilkada yang sesungguhnya adalah bagian dari sistem politik di daerah. Sistem pilkada juga bagian dari sistem politik di daerah.
Keterlibatan secara sukarela dalam pilkada merupakan indikator positif atau negatifnya rakyat daerah sebagai warga yang mempunyai hak politik sebagai voter. Tentu saja rakyat sebagai waraga negara agar dapat berperan aktif dalam partisipasi politik perlu terpaan pendidikan politik dari berbagai agennya. Tanpa terpaan itu maka sukar untuk mendapatkan kadar partispasi politik yang baik dalam kerangka demokrasi.
  Bentuk partispasi politik rakyat daerah dalam pilkada langsung ini dapat dilihat dari berbagai bentuknya, mulai dari sebagai orang atau kelompok yang apolitis, pengamat, maupun  partisipan.  Seperti pada dua pemilu yang lalu maka akan ada prosentasi rakyat yang apolitis dalam arti mereka yang  termasuk tak acuh dalam kegitand an proses politik. Di Indonesia,prosentase rakyat yang apolitis masih di bawah 30 % rata-rata. Sementara bentuk pengamat merupakan porsi yang paling banyak, yaitu mereka yang melakukan pengaruh dalam proses politik sebatas sebagai anggota organsisasi, hadir dalam kampanye, dan voter. Sementara dalam bentuk partisipan, diantaranya rakyat terlibat sebagai aktivis partai, dan kelompok kepentingan. Sebagai aktivis, pertisipasi politik rakyat sudah mengarah pada derajat menduduki jabatan-jabatan organisasi/ politik.
 Aktor utama sistem pilkada adalah rakyat, partai politik, dan calon kepala daerah. Ketiga aktor inilah yang terlibat langsung dalam kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan dalam rangkaian tahapan-tahapan kegiatan pilkada langsung , yaitu :
1.      Pendaftaran pemilih
2.      Pendaftaran calon
3.      Penetapan calon
4.      Kampanye
5.      Pemungutan dan penghitungan suara, dan
6.      Penetapan calon terpilih.
Karena pilkada merupakan implementasi dari demokrasi, maka nilai-nilai demokrasi menjadi parameter keberhasilan pelaksanaan proses kegiatan. Nilai-nilai tersebut diwujudkan melalui azas-azas pilkada langsung yang terdiri dari : langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil.
            Partai-partai politik mempunyai kepentingan besar untuk menjadikan calonnya terpilih sehingga tidak mungkin menyerahkan penyelenggaraan pada mereka. Catatan pilkada selama ini menunjukan , penyelenggaraan pilkada oleh partai-partai politik menimbulkan bias demokrasi, seperti persekongkolan, nepotisme, dan politik uang. Oleh karena itu, kegiatan-kegiatan tersebut harus diselenggarakan oleh lembaga yang diatur secara ketat untuk menjaga dan menjamin dilaksanakannya nilai-nilai keterbukaan, keadilan dan kejujuran.


HAMBATAN DALAM MELAKSANAKAN PILKADA LANGSUNG DI INDONESIA
            Berdasarkan pelaksanaan pilkada di beberapa daerah , terdapat hambatan-hambatan yang berkaitan dengan persiapan daerah dalam menyelenggarkan pilkada.
Pertama, berkaitan dengan beratnya syarat pengajuan calon. Dalam UU no 32 tahun 2004 disebutkan bahwa hanya partai politik atau gabungan partai politik yang memperoleh suara 15%  kursi DPRD atau 15%  suara pileg yang berhak mengajukan calon. Persyaratan inilah yang terlalu memberatkan. Karena dengan ketentuan seperti ini, daerah-daerah dimana tidak ada satu pun atau gabungan partai politik yang bisa mencalonkan diri sebagai pasangan calon, maka akan ada hanya satu calon.
Kedua, sistem pilkada dua putaran yang dianut ternyata dijadikan sarana bagi beberapa daerah untuk mengajukan anggaran pilkada secara besar-besaran.
Ketiga, berkaitan dengan prosedur perhitungan suara-suara dab penetapan calon yang terpilih. Untuk mengatur prosedur dan cara perhitungan secara jelas bagaimana kalau ada calon yang memiliki suara sama disemua tingkatan seharusnya ada SK KUPD agar mencari jalan keluar dari masalah ini.
Keempat, maraknya praktik-praktik money politics. Pemilihan kepala daerah langsung banyak diwarnai kegiatan money politics. Jauh sebelum pelaksanaan pilkada, para pasangan calon banyak mengeluarkan miliaran rupiah, bahkan puluhgan miliar, untuk hanya jadi calon.
Kelima, besarnya daerah pemilihan, yaity seluruh wilayah provinsi untuk pemilihan gubernur, dan seluruh wilayah kabupaten untuk pemilihan bupati, menyebabkan proses kampanya sulit dikendalikan.
Keenam, caraq pemilihan kepala daerah dengan memilih orang menempatkan figur sebagai pertimbangan utama dalam menentukan pilihan kepala daerah. Untuk memilih partai saja, kebanyakan pemulih masih mempertimbangkan figur masing-masing tokohnya.
Ketujuh, sebagai konsekuensi memilih orang, bentuk black propogandan akan banyak mewarnai kampanye kepala daerah ketimbang model kampanya yang berupaya membangun image positif masing-masing pasangan calon.
Kedelapan, ketidaksiapan pemilih untuk menerima kekalahan calon pendukungnya akibat sistem pemilihan dua tahap yang memungkinkan calon terbesar kedua keluar sebagai pemenang. Termasuk, tidak siapnya para pendukung menerima kekalahan jagoannya.
Kesembilan, sebagai konsekuensi memilih orang, akan banyak split voting pada pemilihan presiden. Maksudnya banyak pendukung partai memberikan dukungan secara menyilang.
Selain hambatan-hambatan tersebut pilkada langsung juga menimbulkan pro-kontra. Kelompok pro berpandangan bahwa pilkada langsung mengeliminasi distorsi-distorsi demokrai dalam praktik pilkada sistem perwakilan. Pilkada langsung dinilai sebagai jalan masuk bagi demokratisasi politik didaerah kerena dapat mengeliminasi atau mengikis politik uang, memperkecil peluang intervensi pengurus partai politik, dan memberikan kesempatan rakyat memilih pimpinan daerah secara objektif.
Dilain pihak, kelompok kontra berpendirian bahwa pilkada langsung merupakan ide dan keputusan prematur untuk tidak relevan peningkatan kualitas demokrasi karena kalitas demokrasi di daerah lebih ditentukan oleh faktor lain terutama kualitas anggota DPRD dan kualitas pemilih. Bagi kelompok kontra, pemilih masih bersifat konservatif dan patriarkhi sehingga pilkada langsung bisa menimbulkan bias demokrasi.


 
 BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN  DAN SARAN
            Berbagai perubahan yang terjadi dari masa ke masa atas penyelenggaraan pilkada di Indonesia menunjukan bahwa demokrasi di Indonesia masih dan akan terus dalam proses. Oleh karenanya pemberian makna atas demokrasi itu sendiri merupakan hal terpenting dalam reformasi dan perbaikan hidup bernegara. Terlebih cita-cita akan tegaknya demokrasi di negeri ini telah ada sejak negeri ini diprolakmasikan tahun 1945.
Arti bahwa pilkada langsung sebagian dari proses demokratisasi adalah bahwa ia hanyalah merupakan sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang sesungguhnya, yaitu tegaknya prinsip dan nilai demokrasi. Pilkada langsung bukanlah satu tujuan, melainkan sebagai alat atau sarana sehingga sevara sederhana dapat dikatakan bahwa dengan terselenggarakannya pilkada langsung tidak serta merta demokrasi akan terjadi, bila pilkada langsung itu dilaksanakn seenaknya dan mengabaikan nilai-nilai demokrasi universal dalam melaksanakanya.
Banyaknya kritik dari pilkada langsung bukan untuk menyurutkan langkah atas pelaksanaan pilkada langsung, melainkan berbagai kritik yang muncul justru menjadi inspirasi dan motivator bagi pilkada langsung agar pelaksanaanya dapat berjalan lebih baik lagi. Berbagai kritik yang ada juga dapat menjaga kita agar tidak sombong.
Harus menjadi kesadaran semua pihak bahwa dalam pelaksanaan pilkada langsung dibutuhkan banyak pembenahan. Antara lain pembenahan manajemen kelembagaan, yang menyangkut kelembagaan pelaksanan pilkada langsung seperti KUPD, DPRD, pemda hingga pemantau. Kemudian penguatan partai politik yang harus cerdas mungkin menempatkan calon yang cerdas baik secara intelektual maupun moral. Serta yang paling penting adalah melakukan pencerahan kepada masyarakat dalam pelaksanaan pilkada langsung agar dalam memilih tidak lagi berdasarkan pada alasan yang pendek, melainkan memilih atas kesadaraan penuh akan kemajuan daerahnya dan bangsa Indonesia dalam jangka waktu yang panjang.


DAFTAR PUSTAKA

Nadir, Ahmad,2005 , Pilkada Langsung dan Masa Depan Demokrasi  .Averroes Press, Malang.
Budiardjo, Miriam, 1994, Demokrasi di Indonesia: Demokrasi Parlementer dan Demokrasi Pancasila, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Prihatmoko,Joko,2005, Pemilihan Kepala Daerah Langsung: Filosofi, Sistem dan Problema Penerapan di Indonesia, Penerbit Pustaka Pelajar, Yogyakarta.